Senin, 04 Januari 2010

Puisi

NEGARAKU,NERAKAKU


Negriku…
Negri yang aman
Negri yang indah permai
Negri yang begitu nyaman

Tapi itu dulu… sekarang semua itu hanya jadi sebuah kenangan terindah negaraku.
Negaraku, Nerakaku
Banyak konflik terjadi
Tak sedikit nyawa melayang
Gempa bumi, Tsunami, banjir,hingga Lumpur panas,membuatku resah
Negaraku kapan semua akan berakhir?
Akankah engkau tetap menjadi neraka bagi kami?

Negaraku,nerakaku
Hari demi hari
Tak sedikit nyawa melayang
Lautan air mata dimana-mana
Tak dapat dihitung lagi
Tangisan anak-anak yang menderita
Jeritan anak-anak yang kelaparan
Akankah negaraku selalu begini?
Apakah negaraku tak mau berubah?

Aku diam termenung menatap langit yang berkabut
Seakan ikut berduka
Negriku nerakaku
Menerkam kebahagiaanku
Dosakah aku yang hanya diam
Tak berbuat apa- apa

Pemimpin kami
Mohon berikan hak kami
Jangan ambil milik kami
Jangan korbankan kami
Untuk perebutkan kursi kekuasaan
Pemimpin…
Stop korupsi

Ya Tuhan….
Apa yang menimpa negaraku
Apakah engaku murka pada kami
Kami telah berlumur dosa
Kami mohon ampun ya Tuhan…
Jadikanlah bangsa ini kembali nyaman
Jadikan lah bangsa ini menjadi surga bagi kami

Saudaraku dari sabang sampai merauke
Mari berpegangan tangan
Mari kita satukan hati
Satukan tekad
Tuk ciptakan Indonesia lebih baik
Dan menjadi Negaraku, Surgaku

Sahabat Baru


Nah, kita sudah sampai ! ” ujar Ayah setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih empat setengah jam. Ibu pun membangunkan Kak Dino yang tertidur di jok belakang. Mia yang sejak tadi duduk dengan wajah ditekuk disebelah Kak Dino membuka pintu mobil dan malas-malasan melompat turun. Sekarang dihadapan Mia berdiri sebuah rumah mungil sederhana. Temboknya bercat biru muda sementara kusen-kusen pintu dan jendelanya berwarna cokelat. Halaman depannya yang tidak terlalu luas dipenuhi tanaman bunga dan rumput yang membuatnya kelihatan sejuk dan asri. Tapi Mia sama sekali tidak tertarik. Ia tetap mematung ditempatnya dengan wajah cemberut.

Ini rumah kita yang baru,” ujar Ayah sambil membuka pintu pagar. “Bagaimana menurut kalian?” . Mia tidak menjawab, ia benar-benar tidak tertarik dengan rumah barunya. Ia menengok kebelakang. Dino yang baru saja terbangun dari tidurnya tampak sedang menguap sambil mengucek-ucek mata. Ia terbelalak kegirangan dan segera turun dari mobil. ”Wah asyik, diujung jalan sana ada lapangan sepak bola ! ” teriaknya gembira. Kak Dino memang paling hobi main sepakbola di jalanan kecil bersama teman-temannya karena tak ada lahan kosong yang cukup luas untuk bermain di sana. Mia merengut. Ia tambah kesal karena kakaknya ternyata menyukai tempat tinggal baru mereka dan tidak mendukung aksi ngambeknya.

Sejak pertama kali Ayah dan Ibu mengutarakan niat mereka untuk pindah ke Bandung, Mia sudah tidak setuju. Mia merasa betah tinggal di Jakarta karena ia lahir dan besar di kota ini. Lagipula di Jakarta, Mia memiliki banyak teman di sekolah. Bila sekarang harus pindah ke Bandung, ia harus mulai beradaptasi dengan lingkungan dan teman barunya nanti. ”Pekerjaan Ayah mengharuskan kita semua untuk pindah. Lagipula rumah kita di Bandung letaknya strategis, jadi kita gampang kemana-mana,” ujar Ibu halus mencoba memberi pengertian ke Mia. Namun meski Ayah dan Ibu sudah menjelaskan berkali-kali, Mia tetap tidak mau mengerti. Ia merasa berat pindah ke Bandung, apalagi harus meninggalkan sahabatnya, Nita.

Yuk, kita masuk ke dalam,” ajak Ayah membuyarkan lamunan Mia. Kak Dino sangat bersemangat memasuki rumah baru mereka. Sementara Ayah dan Ibu melihat-lihat ke dalam rumah, Mia melangkah menjauh dari rumah dengan hati sedih. Belum lima langkah meninggalkan rumah, tiba-tiba ada seseorang menegurnya dari belakang. ”Hai, kamu orang baru yang mau menempati rumah sebelah ya?” tanya suara itu. Mia menoleh kebelakang dan terpaku menatap si pemilik suara. Di hadapannya berdiri seorang anak seusianya dengan rambut dikuncir dan senyum manis menghiasi bibirnya. Mia menghentikan langkahnya dan mengangguk. ”Kenalkan, nama aku Ira. Aku tinggal disini. Aku sekolah di depan kompleks sana, SMP Harapan,” ujarnya. ”Wah sama dong, aku juga dimasukkan Ayahku di sekolah itu,” Mia mulai tertarik. ”Aku sekarang kelas 2, kamu kelas berapa?” tanya Mia. ”Wah sama dong? Aku juga kelas 2. Oh ya, aku belum tahu namamu,” ujar Ira. ”Namaku Mia,” ucap Mia. ”Dulu rumah yang kamu tempati sekarang rumah Icha, sahabatku,” Ira membuka percakapan. ”Semua selalu kami lakukan bersama, mulai dari main, buat PR mau pun ke sekolah. Dia satu- satunya sahabatku disini,” sambungnya dengan nada sedih. Mia langsung teringat sahabatnya, Nita. ”Aku juga mengalami hal yang sama denganmu. Aku harus berpisah dengan Nita,”ujar Mia. ”Siapa Nita?” tanya Ira. ”Dia sahabatku di Jakarta. Sama seperti kamu dan Icha, aku dan Nita juga kemana-mana selalu berdua,” ujar Mia pelan. Sejenak suasana hening. ”Nggak usah sedih lagi, Mia. Sekarang kita kan bertetangga, jadi kita bisa bersahabat dan bermain bersama,” ujar Ira memecah keheningan. Mia mengangkat kepala dan memandang wajah Ira. ”Kaalu begitu, sekarang kita bersahabat ya. Kamu jadi pengganti Nita sedangkan aku jadi pengganti sahabat kamu, Icha,” ujar Mia gembira. Ira pun mengangguk senang. Beriringan keduanya berjalan dengan wajah cerah menuju rumah Mia. Mia ingin mengenalkan Ira pada Ayah, Ibu maupun kakaknya. Hatinya sangat senang karena ia sudah mendapatkan sahabat baru yang akan menemani hari-harinya.

mY eveRytHing